Terjatuh Diantara Gemintang (Chapter 7: Inikah Jatuh Cinta?)


Membaca Buku Berdua

Membaca Buku Berdua

Kembali Mika menatap jendela kereta malam, hari telah larut, di perjalanan menuju Jakarta, Mika tak mampu memejamkan matanya. Mika hendak observasi kampus di Padang dan perjalanan yang ditempuh cukup jauh, ia merencanakan untuk kuliah jurusan Hubungan Internasional di Universitas Andalas, selain itu ia ingin melihat Institut Kesenian Jakarta dan Institut Seni Yogyakarta, tentunya ia ingin observasi jurusan Seni Musik. Kali ini Mika melakukan perjalanan sendirian, dengan menggunakan jaket jeans, syal batik tenun di lehernya, serta tas ransel berisi pakaian ganti sebagai bekalnya, ditempatkannya di bagasi tempat duduknya. Tujuan pertamanya adalah Sumatera Barat, ia banyak mendengar bahwa daerah tersebut indah dan mempesona, lagipula sejujurnya ia belum pernah keluar dari pulau Jawa, sehingga keinginannya untuk menjejakkan kakinya di Sumatera demikian menggelora.

Kereta terhenti sejenak di stasiun Semarang Tawang, tak lama berselang seorang gadis cantik berambut sebahu membawa boneka sebesar dirinya menghampiri tempat duduk di sebelah Mika, sambil tersenyum gadis cantik tersebut menegur Mika, rupanya nomor tempat duduk gadis itu kebetulan di sebelah Mika, mereka berdua agak kebingungan menempatkan boneka besar ini disebelah mana. Kemudian di sambut Mika boneka tersebut,”Sini ta’ bantu bonekamu saya pangku.” Gadis tersebut tersenyum senang, kemudian menempatkan tasnya di bagasi atas tempat duduk mereka. “Rina.” ia memperkenalkan dirinya kepada Mika,”Mas mau ke Jakarta juga?” Mika hanya tersenyum mendengar pertanyaan gadis tersebut. Kemudian boneka besar tersebut di tempatkan di bangku seberang mereka. Mika diam-diam memperhatikan gadis tersebut meski tak menegur apapun, di lihatnya rambut legam hitam gadis tersebut, menggunakan celana jeans hitam dan tank top hijau tosca, sama dengan dirinya, gadis tersebut juga mengenakan syal, namun dari sutera.

Mika mengalihkan pandangannya kembali ke jendela kereta melihat-lihat gugusan bintang di langit malam di perjalanan, sama sekali tak di tegurnya Rina. Mika agak kikuk dengan keadaan ini, kemudian gadis tersebut meraih tasnya di bagasi dan mengeluarkan novel untuk di bacanya sepanjang perjalanan. Tak lama kemudian Mika mengutak-atik handphone  yang dipinjamnya dari mbak Laluna, memasang earphone, mendengarkan musik. Mika dan Rina tak memejamkan mata sepanjang perjalanan, rasa kantuk tak hadir untuk mereka, Mika asik mendengarkan musik, Rina asik membaca novel. Sesampainya di stasiun Cirebon, kereta terhenti sejenak, Mika kemudian berdiri dan menegur Rina, permisi ingin lewat. Kemudian Rina mempersilakan Mika lewat, dengan langkah yang tergesa-gesa Mika menuju restorasi kereta. Di restorasi Mika memesan teh hangat, ada seorang bapak menggunakan seragam TNI AL melihatnya melamun di restorasi, Mika di tegur bapak tersebut,”komunikasi.” Mika terdiam melihat bapak tersebut tiba-tiba tanpa basa-basi menegurnya, Mika tak mengerti maksud bapak itu apa, apalagi tanpa alasan apapun tiba-tiba berbicara seperti itu. Kemudian tak lama kemudian datang lagi sepasang bapak-bapak menghampiri restorasi. Mereka berdua merokok dan berbincang-bincang di restorasi, bicara politik dan guru Nahdlatul Ulama yang baru saja wafat, Mika tak mengerti yang mereka bicarakan, hanya mengira-ngira saja. Tak lama kemudian datang lagi pemuda seumurannya ke restorasi, mengeluarkan handphone dari kantongnya, setelah melihat Mika di restorasi minum teh hangat, pemuda itu kemudian beranjak dari restorasi, tidak pesan apa-apa di restorasi hanya melihat dirinya lalu pergi. Lalu keretapun melaju kembali menuju Jakarta.

Mika kembali ke tempat duduknya, dan kembali menyalakan musiknya. Namun berselang lima menit, Mika memberanikan menegur Rina,”Bonekanya kurang besar.” Rina tertawa lalu menjawab,”Ternyata diam-diam lucu juga ya, masnya.” Rina lalu bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan boneka tersebut, Mika memperhatikan sudut bibir tawanya, alis matanya yang tebal, dan sorot matanya yang tajam, pelupuk matanya menjorok ke dalam. Tak banyak yang Mika katakan, ia hanya melihat gadis tersebut berbicara tak ada habis-habisnya. Lalu Mika kembali beranjak ke restorasi, Rina bingung lihat tingkah laku Mika, namun tak ditanyakannya. Mika memesan teh hangat lagi, kali ini di cup untuk di bawa ke tempat duduk. Kemudian diberikannya ke Rina teh hangat tersebut, Rina tertawa sambil keheranan melihat kelakuannya,”Mas ini aneh deh, ngalor-ngidul gak keruan.” Ucap Rina sambil menahan tawa. “Maaf aku tadi lupa membelikan teh hangat buat kamu.” Ujar Mika. Bak psikolog Rina menanyakan lamunan Mika, namun hanya disambut senyuman, dan Mikapun kembali menatap jendela kereta. Rina beringsut kembali menyandarkan duduknya, tampaknya pertanyaannya salah, iapun kembali membaca novelnya.

Pagi hari kereta sudah sampai di stasiun Jatinegara, Rina telah bersiap turun dari kereta, diraihnya tas dari bagasi dan diambilnya boneka dibangku sebelahnya. Menegur Mika kembali,”Aku duluan ya mas,”Ucap Rina. Mika dengan wajah kurang tidur dan malas bangkit dari tempat duduk menjawab,”Hati-hati dijalan,”dijawabnya dengan dingin sekali. Memapah boneka besar tersebut ia berjalan menuju pintu kereta lalu turun. Menghentikan mikrolet di depan stasiun, Rina menuju terminal Kampung Melayu, dengan serba hati-hati ia masuk ke dalam mikrolet agar bonekanya tak rusak tergores-gores. “Besar sekali mbak bonekanya,”tegur seorang bapak di mikrolet. Rina tersenyum dan menjawab,”Iya, pemberian dari seseorang.” Padahal boneka tersebut di belinya sendiri di Semarang, namun karena agar tidak dianggap terlalu mewah, ia menjawab di berikan oleh teman. Dan ia masih teringat lelaki di kereta tadi, mungkin sedang patah hati, sebut benaknya. Di mikrolet ia bertanya ke bapak tersebut kendaraan umum menuju ke padang, kemudian terjadilah percakapan diantara mereka. Sesampainya di Kampung Melayu, Rina menuju terminal Rawamangun, di mikrolet, Rina kembali di tanya tentang bonekanya, kali ini oleh seorang ibu. Rina sesungguhnya penduduk asli padang dan tahu arah kemana saja untuk menuju padang, namun karena Rina senang ngobrol, ia berpura-pura untuk banyak hal, agar ada kesempatan untuk ngobrol. Rina senang berkenalan dengan banyak orang dan berteman dengan siapapun, namun terkadang orang menganggapnya lemah dan butuh dibantu, mungkin karena terlalu cantik sebagai seorang perempuan. Ada suatu kelebihan khusus yang dimiliki oleh Rina, bahwa ia selalu ngobrol dengan orang tua diperjalanan, jarang sekali dengan yang sebayanya, kecenderungan yang terjadi apabila dengan yang sebaya adalah seperti berkenalan dengan pemuda di kereta tadi. Hampir 10 jam perjalanan di kereta dan pemuda itu sama sekali tak menyebutkan namanya, tampaknya pemuda tersebut memang seorang penyendiri.

Telah sampai Mika di stasiun Gambir, setelah turun ke peron ia mampir sejenak di warung bubur kacang hijau, seperti biasa ia memesan teh manis hangat dan bubur kacang hijau campur ketan hitam. Di warung tersebut Mika bercengkerama dengan sesama pengunjung warung tentang pertandingan sepakbola yang semalam tayang, karena Mika tak menonton tayangan sepakbola tersebut membuatnya bertanya-tanya tentang pertandingan semalam. Kemudian ia bertanya tentang perjalanan menuju Padang, ditunjukkan arah ke grogol oleh para pengunjung lainnya untuk naik angkutan umum antar propinsi. Setelah selesai menyantap bubur kacang hijaunya, Mika bergegas menuju bis kota ke arah grogol, di dalam bis kota, pagi ini bis kota menuju grogol masih sepi penumpang, sehingga Mika dapat dengan leluasa mendapat tempat duduk di bis. Di dalam bis kota tersebut Mika kembali memasang headset handphone mbak laluna, dan kemudian ia kembali memandang ke jendela bis kota, melihat-lihat suasana ibukota yang megah, tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Dilihatnya patung Arjuna berkereta kencana di silang monas, begitu megahnya patung tersebut hingga Mika tertegun, tiap ia ke Jakarta, selalu saja menyempatkan diri untuk melihat patung Arjuna ini, sebuah kisah peperangan untuk memperebutkan cinta seorang ibu dan seorang perempuan, terlintas dibenaknya pewayangan yang sering dipentaskan di kampungnya. Mika meski tanpa disadarinya sedang menjalani itu semua, melintasi sebuah peradaban yang tak terjangkau oleh akal sehatnya.

Seorang perempuan berpakaian kerja tiba-tiba duduk disamping Mika, diliriknya Mika yang sedang duduk melihat-lihat jendela, kemudian melihat jam tangannya. Mika melirik perempuan tersebut, mengenakan blazer hitam, kemeja berenda putih dan celana jeans. Perempuan tersebut tampaknya gelisah sekali, berulang kali dilihatnya jam tangan, kemudian Mika bertanya kepadanya,”Mbak, pukul berapa sekarang?”. Perempuan tersebut kemudian menjawab,”Pukul enam lewat sepuluh.” Mendengar suara Mika yang medok dan wajahnya masih anak-anak namun berpenampilan dewasa, perempuan tersebut bertanya,”Kamu mau kemana dik?” Dijawab oleh Mika,”Mau ke Padang mbak.” Sesampainya di grogol, Mika bergegas naik bis menuju merak, di bis antar propinsi tersebut ia bisa memejamkan matanya dan tertidur.

Sesampainya di Pelabuhan Merak, Mika melihat-lihat ke laut sejenak, dipinggir dermaga ia meriak-riakan lengannya ke air laut. Melihat bocah-bocah yang sedang menyelam menyambut uang logam dari penumpang, Mika hanya tertegun dengan pemandangan di sekitarnya. Ia teringat Raminah di kampung halaman, rambutnya yang tergerai bebas ditiup angin melintasi benak Mika. Tetiba Rina menghampirinya,”Bertemu lagi kita disini mas,”sambil tersenyum Rina membuyarkan lamunannya. Mika terkaget dan bertanya kepada Rina,”Kamu memangnya kemana tujuannya? Rina menjawab, ke Padang. Kemudian berlanjutlah percakapan mereka berdua, lebih akrab dari yang mereka lakukan di kereta, seakan mereka telah saling mengenal sejak lama.  Sambil menunggu bus mereka antri kapal ferry, Mika dan Rina berjalan menyusuri dermaga, di ujung dermaga mereka berdua saling bertatapan dan tak mengucapkan sepatah katapun.

Mika dan Rina beranjak ke kapal ferry menuju bakauheuni, Mika berjalan dibelakang Rina dengan maksud membiarkannya berjalan duluan, seketika Rina berucap,”Jangan berjalan dibelakangku mas, iringi aku disampingku.” Mika terkesiap dengan ucapan Rina. Disela dermaga dan kapal ferry, mereka mesti meloncat, Mika meloncat duluan dan kemudian meraih tangan Rina yang sedang mengambil ancang-ancang. Diraihnya lengan Mika yang kemudian menariknya ke kapal ferry. Menuju kapal ferry, Mika dan Rina bercengkerama, sambil minum teh hangat mereka berdua saling bercerita. Tampak mereka menikmati percakapan mereka kali ini, berbeda dengan sewaktu di kereta. Ditanya oleh Rina urusan Mika ke Padang, dijawab oleh Mika hendak observasi kampus.

Leave a comment